Monday, November 10, 2008

Zakat dengan Qimmah

(Studi Komparatif)

Prolog
Allah Swt. mensyari’atkan zakat, karena di dalam pelaksanaannya terdapat banyak kemaslahatan yang dapat dipetik. Zakat merupakan bukti dari adanya kesadaran antar manusia yang bisa melahirkan kesejahteraan sirkulasi hidup, ia dapat mengentaskan kemiskinan dan dapat menyelamatkan manusia dari kerugian di dunia dan di akhirat. Disamping itu, zakat dapat meminimalisir sifat kikir, materialistik, individualistik dan egoistik (Ananiyah). Sedangkan sifat bakhil adalah sifat yang terela yang akan menjauhkan manusia dari rahmat Allah1.
Kewajiban mengeluarkan zakat ini sama dengan wajibnya kita melaksanakan shalat lima waktu. Sebab itu pada waktu terjadinya penolakan sebagaian kaum muslimin untuk membayar zakat pada masa kekhilafahan Abu Bakar ra., beliau memerangi mereka dengan alasan “Saya tidak akan memisahkan sesuatu yang telah Rasul satukan”. Maksudnya, beliau tidak akan membedakan kewajiban mengeluarkan zakat, dengan kewajiban melaksanakan shalat, karena Nabi disetiap sabdanya selalu menyatukan Shalat dengan zakat, bahkan Nabi diperintahkan Allah agar membunuh orang yang tidak mengucapkan dua kalimat syahadat, tidak melaksanakan shalat serta tidak mengeluarkan zakat.
Dalam makalah kali ini penulis akan membahas pendapat para ulama mengenai pembayaran zakat dengan Qimmah (nilai mata uang), penulis harap dengan tulisan ini tidak sampai mengurangi keluasan ilmu para ulama, karena ini semua tidak terlepas dari kekurangan penulis.
Sebelum beranjak pada pembahasan utama, perlu diketahui bersama bahwa para ulama fiqih menyepakati bolehnya mengganti pembayaran zakat yang semestinya (A’in Waajibah) dengan sesuatu yang lain. Ketika Nabi Saw. memerintahkan agar membayar zakat Fitrah dengan memberikan satu sha’2 kurma (Tamr), atau gandum (Sya’iir) atau Kismis (Zabiib). Menurut para ulama fiqih, membolehkan mengganti dengan yang lain jika ketiga makanan tersebut tidak ada, misalkan dengan beras, jagung, adas dan yang semisalnya.
Sebab terjadinya ikhtilaf
Setelah para ulama fiqih menyepakati bolehnya mengganti A’in Waajibah dengan sesuatu yang lain, mereka berbeda pendapat dalam penghukuman mengganti A’in pembayaran zakat dengan Qimmah. Hal ini menurut penulis para ulama fiqih berbeda pendapat karena dua sebab:
Para ulama berbeda pandangan dalam pembatasan bahan pengganti dari A’in Waajibah. Sebagian berpendapat bahwa bahan pengganti tersebut mencakup di dalamnya Qimmah, pendapat lain mengatakan bahan pengganti tersebut hanya terbatas pada bahan pangan dan bahan yang ditetapkan secara langsung oleh Rasulullah.
Para ulama berbeda pandangan dalam penetapan maslahat dari penggantian A’in Waajibah. Ada yang berpendapat bahwa bahan pangan lebih dibutuhkan oleh Mustahiq zakat, pendapat lain berpendapat bahwa uang lebih dibutuhkan dari pada bahan pangan.
Dalil-dalil masing-masing pendapat
Para ulama fiqih terbagi menjadi dua pendapat dalam mengeluarkan Qimmah sebagai pengganti A’in Waajibah3:
1. Pendapat pertama mengatakan tidak boleh mengganti A’in Waajibah dengan Qimmah. Pendapat ini diusung oleh Madzhab imam Malik, imam Syafi’i, imam Ahmad dan imam Abu Daud, mereka mengambil dalil:
Dari Sunnah:
- Rasulullah Saw. “Mewajibkan zakat fitrah dengan kurma satu sha’, atau satu sha’ dengan gandum...”4. Madzhab ini mengatakan: dalam teks hadits ini tidak disebutkan pembayaran zakat dengan Qimmah, kalaulah diperbolehkan maka mesti disebutkan dalam hadits tersebut.
Dari Atsar Sahabat:
- Abu Bakar ra. mewajibkan zakat sebagaimana Allah dan Rasul-Nya memerintahkannya “Siapa saja yang wajib membayar zakat untanya dengan Jadza’ah5, lalu dia tidak mempunyai jadza’ah tapi dia mempunyai hiqqah6, maka boleh diterima hiqqahnya ditambah dengan dua ekor kambing jika hal ini memudahkan baginya, atau ditambah dengan dua dirham...”7. Pengusung pendapat ini mengatakan: kalaulah Qimmah diperbolehkan maka Abu Bakar ra. tidak akan membatasi ukuran Qimmahnya, tapi diharuskan adanya keterkaitan antara Qimmah dengan A’in Waajibah.
- Menurut imam Asy Syaukani: Kebijakaan yang ditentukan dalam hadits Abu Bakar ra. tersebut menunjukkan tidak disyari’atkannya pembayaran dengan Qimmah, karena jika memang disyari’atkan maka kebijakan Abu Bakar ra. tersebut menjadi sia-sia8.
- Abu Bakar ra. menulis surat untuk penduduk Bahrain yang berisi tentang pembayaran zakat “....dalam dua puluh lima unta (zakatnya) satu binti makhadl9, jika tidak ada binti makhadl diganti dengan ibn labun10....”11. Pengusung pendapat ini mengatakan: kalaulah zakat dengan Qimmah diperbolehkan, maka dalam hadits ini mesti dijelaskan.
Dari Akal:
- Pensyari’atan dalam teks dalil yang menunjukan pada wajibnya zakat tidak boleh diganti, sebagaimana tidak boleh mengganti teks-teks dalil tentang pelaksanaan Qurban atau Kifarat.
- Zakat diwajibkan agar membayar/memenuhi kebutuhan faqir miskin dan sebagai tanda syukur atas ni’mat harta. Sedangkan kebutuhan orang bermacam-macam, maka mesti memberikan zakat dengan A’in yang berbeda-beda (tidak dengan Qimmah yang hanya satu bentuk).
- Pendapat imam Abu Hanifah -rahimahullah- tertolak, karena (Tidaklah Tuhanmu itu pelupa) kalaulah Qimmah diperbolehkan, maka Allah dan rasul-Nya akan menjelaskannya. Maka kita wajib berhenti dan mengambil dhahir teks tanpa perubahan dan tanpa penafsiran12.
- Tidak boleh membayar zakat dengan Qimmah kecuali jika tidak ada A’in waajibah dan tidak ada yang sejenis dengan A’in Waajibah. Karena zakat merupakan ibadah, sedangkan ibadah tidak sah kecuali dengan hal-hal yang sudah diperintahkan oleh syara’. Sehingga faqir miskin dapat merasakan bahan pangan sebagaimana yang dirasakan orang kaya13.

2. Pendapat kedua mengatakan boleh mengganti A’in Waajibah dengan Qimmah, meskipun ada A’in Waajibah ataupun ada yang sejenis dengan A’in Waajibah . Pendapat ini diusung oleh Madzhab imam Abu Hanifah, imam Ats Tsauri dan imam Bukhari, mereka mengambil dalil:
Dari Atsar Sahabat:
- Abu Bakar ra. menulis surat untuk penduduk Bahrain yang berisi tentang pembayaran zakat “dalam dua puluh lima unta (zakatnya) satu binti makhadl, jika tidak ada binti makhadl diganti dengan ibn labun”. Dari surat Abu Bakar ra. ini menunjukkan bahwa A’in Waajibah bisa diganti dengan yang lainnya, termasuk dengan Qimmah.
- Abu Bakar ra. mewajibkan zakat sebagaimana Allah dan Rasul-Nya memerintahkannya “Siapa saja yang wajib membayar zakat untanya dengan Jadza’ah, lalu dia tidak mempunyai jadza’ah tapi dia mempunyai hiqqah, maka boleh diterima hiqqahnya ditambah dengan dua ekor kambing jika hal ini memudahkan baginya, atau ditambah dengan dua dirham...”. Perkataan Abu Bakar ra. ini dengan jelas membenarkan Qimmah bisa mengganti A’in Waajibah.
- Mu’adz Ibn Jabal berkata kepada pemduduk Yaman “Berikan kepadaku baju khamis- atau baju bekas-dalam pembayaran zakat pengganti gandum dan jagung, sebab ini lebih mudah bagi kalian dan lebih dibutuhkan bagi para sahabat Nabi Saw. yang berada di Madinah”14. Perkataan Mu’adz ini dengan jelas membenarkan Qimmah mengganti A’in Waajibah.
Dari Akal:
- Maksud dari pembayaran zakat adalah agar bisa memperkaya orang miskin, sedangkan menjadi kaya berhasil dengan Qimmah –sebagaimana juga dengan A’in Waajibah-. Dan mungkin kemiskinan bisa diberantas dengan membayar Qimmah.
- Abu Hanifah membolehkan membayar dengan Qimmah, tanpa melihat mampu membayar dengan A’in Waajibah, ataupun tidak. karena zakat adalah haq bagi faqir miskin, sedangkan Qimmah tidak ada bedanya dengan A’in Waajibah15.
- Boleh mengeluarkan zakat wajib dengan mata uang –bahkan ini lebih utama- karena lebih banyak manfaatnya bagi faqir miskin16.
Pendapat yang Rajih (kuat)
Setelah penulis cantumkan beberapa dalil antara dua pendapat dan membandingkannya, penulis menyimpulkan bahwa para ulama fiqih -dengan luasnya keilmuan mereka- saling berijtihad mempertahankan pendapatnya. Ini didasari karena keumuman pendapat dalam memahami pengganti A’in Waajibah, juga karena para ulama memandang dan menyadari kemaslahatan zakat bagi faqir miskin. Maka, penulis memberikan apresiasi sebesar-besarnya pada para ulama yang terlah berijtihad tentang hal ini, sehingga penulis tidak dapat memihak kepada salah satu diantara dua pendapat. Tapi penulis mengambil pendapat yang disetujui Syaikh Abu Malik Kamal Ibn As Said Salim17, dan beliaupun mengambil pendapatnya Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah –rahimahullah- yang bersikap netral dalam pembahasan ini. Artinya, tidak seratus persen membolehkan zakat dengan Qimmah, juga tidak seratus persen melarangnya. Tapi beliau berpendapat membolehkan mengeluarkan zakat dengan Qimmah tapi dengan syarat adanya tiga hal: kebutuhan yang sangat, lebih maslahat dan jika lebih dirasakan adil.
Yang perlu diluruskan
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, bahwa tidak ada nash secara Shariih yang membolehkan pembayaran zakat dengan Qimmah. Yang hal ini dapat disimpulkan bahwa pembayaran zakat dengan Qimmah tidak bisa berdiri sendiri tanpa ada sesuatu sebagai pembanding. Maka, pembayaran zakat dengan Qimmah mesti diukur sesuai dengan ukuran A’in Waajibah.
Misalkan, jika harga satu kilo beras18 sebanyak LE. 2, maka Muzakki mesti membayar zakat fitrah seharga dua kilo setengah (2½ kg.) beras, yaitu LE. 5. Atau sebagaimana kebijakan Abu Bakar ra. mengenai orang yang mesti membayar zakat unta dengan Jadza’ah, lalu muzakki tersebut hanya mempunyai hiqqah, maka -menurut Abu Bakar ra.- hiqqah tersebut bisa menggantikan Jadza’ah dan mesti ditambah dengan dua ekor kambing, atau dua ekor kambing diganti dengan dua dirham (sesuai harga per-ekor).
Epilog
Syari’at Islam tidak akan menafikan kemaslahatan (Mashaalih), karena di dalam syari’at pasti terkandung berbagai kemaslahatan bagi umatnya. Begitupun dalam pembahasan pembayaran zakat dengan Qimmah, ketika para ulama berijtihad menterjemahkan teks-teks dalil yang berkenanan tentang hal ini, mereka tidak lepas dari menengok kemaslahatan ummat, selama hal ini tidak mengubah (Tahriif) teks-teks dalil qath’i.
In Urîdu Illal Ishlâha Mastatho’tu

Foot note:
1. QS. An Nisa: 37
2. Menurut ulama Hanafiah satu sha’ sebanding dengan 3261.5 gr, sedangkan menurut ulama selain Hanafiah satu sha’ sebanding dengan 2172 gr.
3. Dalam hal ini penulis banyak menyitir tulisannya Syaikh Abu Malik Kamal Ibn As Said Salim dalam Shahiih Fiqhus Sunnah, jil. II, hal 62-63. dan sebagian kecil dari kitab-kitab fiqih lainnya.
4. HR. Bukhari No. 1504 dan Muslim No. 984
5. Unta betina yang baru akan memasuki umur 5 tahun.
6. Unta betina yang baru akan memasuki umur 4 tahun.
7. HR. Bukhari No. 1453
8. Muhammad Ibn Ali Ibn Muhammad Asy Syaukani, Nailul Authaar, Kairo: Daul Hadits, 2000, jil. IV, hal. 515
9. Unta betina umur 2 tahun.
10. Unta jantan yang baru akan memasuki umur 3 tahun.
11. HR. Bukhari, Abu Daud dan An Nasa’i
12. Abdul Adhzim Ibn Badawi Al Khalfi, Al Wajiiz; fii fiqhis Sunnah wal Kitaabil A’ziiz, Mesir: Dar Ibn Rajab, 2001, hal. 230-231
13. As Said Saabiq, Fiqhus Sunnah, Kairo: Maktabah Dar At Turats, juz I, hal. 274-275
14. Sanadnya dlai’f, menurut Abu Malik Kamal Ibn As Said Salim
15. As Said Saabiq, Fiqhus Sunnah, Kairo: Maktabah Dar At Turats, juz I, hal. 275
16. Abdurrahman Al Jaziiri, Kitaabul Fiqhu ‘alal Madzaahibil Arba’ah, Kairo: Dar Al Manar, 2001, jil. I, hal. 504
17. Abu Malik Kamal Ibn As Said Salim, Op Cit, jil. II, hal. 63-64
18. Jenis harga beras sesuai dengan yang biasa dikonsumsi oleh Muzakki.

No comments: