Monday, November 10, 2008

Teokrasi: Wajah Buram Bagi Agama dan Peradaban Dunia

Prolog

Sudah menjadi kecenderungan manusia berusaha untuk bisa dihormati dan dianggap penting. Apapun jalurnya kita berusaha untuk mendapatkan dua hal tersebut, ada yang melalui jalur kekuasaan, kesenian, kebudayaan, rumah tangga ataupun agama. Dan apapun caranya, ada yang memakai jalan halus, kasar, menipu ataupun jujur.

Pada abad kegelapan Eropa, sebenarnya para tokoh agama dan raja saling berlomba untuk mendapatkan kehormatan di mata masyarakat. Raja dengan jalur kekuasaannya, adapun tokoh agama dengan ajarannya. Namun perlombaan ini mulai tidak fair ketika mereka mulai mengeksploitasi jalur yang seharusnya benar tadi, menjadi diselewengkan demi mendapat percepatan kehormatan. Raja yang seharusnya memberi kesejahteraan kepada masyarakat, malah menindas mereka dengan kediktatorannya. Tokoh agama yang seharunya menjadi pengayom ummat, malah menyelewengkan ajaran agama demi hawa nafsunya.

Lebih ngeri lagi, ketika dua kekuatan ini bergabung dalam memperluas kehormatan dan kekuasaannya. Terlepas dari siapa yang mulai mendekati, raja ataukah tokoh agama, yang pasti kedua kekuatan ini sarat dengan hawa politis. Raja bertendensi agar semakin langgeng dengan kekuasaannya, dan tokoh agama berkeinginan semakin bercokol di negara.

Kedua kekuatan tadipun mulai beromansia, dengan menjadikan setiap kebijakan yang dikeluarkan dimanipulasi agar dapat diterima masyarakat. Tokoh agama menganggap dirinya sebagai perantara Tuhan bagi manusia, dan raja mengusahakan agar setiap kebijakannya dianggap telah disetujui ataupun turun dari Tuhan melalui perantara tokoh agama. Keduanya menipu masyarakat dengan mengatasnamakan wahyu Tuhan.

Definisi

Kata “teokrasi” berasal dari bahasa Yunani θεοκρατία (theokratia). θεος (theos) artinya “Tuhan” dan κρατειν (kratein) “memerintah” Teokrasi artinya “pemerintahan oleh Tuhan”[1] . Negara teokrasi umumnya difahami sebagai negara yang diperintah oleh orang (atau orang-orang) yang mengklaim – tentu secara otoriter – sebagai wakil Tuhan. Dalam teokrasi, setiap keputusan yang dikeluarkan oleh penguasa, diklaim sebagai keputusan Tuhan sehingga tidak ada seorang pun yang boleh mengkoreksi atau menolak keputusan tersebut. Setiap bentuk koreksi atau penolakan terhadap kebijakan penguasa akan mendapatkan hukuman yang sangat berat.

Teokrasi berarti menganggap diri sebagai perantara Tuhan dan pemegang kekuasaaan penuh dalam mengenal dan menafsirkan pesan dari langit baik yang berhubungan dengan urusan agama atau dunia. Pengakuan ini bisa saja datang dari perseorangan yang memegang tampuk kuasa agama atau politik. Bisa juga pengakuan ini datang dari personal,lembaga ilmiah ataupun politik[2].

Teokrasi memerintah kehidupan manusia dan perasaan mereka dengan mengatasnamakan “Kebenaran Tuhan”. “Pendeta” ataupun “Tokoh agama” mengaku sebagai representasi dari kehendak Pencipta di dunia, ataupun Keinginan langit di bumi[3]. Maka setiap kebijakan ataupun hukum apapun yang dilontarkan mereka serta-merta mesti diikuti, karena mereka merupakan perantara Tuhan dalam mengabarkan suatu ajaran ataupun kebijakan.

Teokrasi Dalam Histori

Pada masa egypt kuno sistem pemerintahan Tuhan ini telah ada, sehingga setiap raja fir’aun menganggap dirinya sebagi Tuhan ataupun anak Tuhan. Begitupun dengan kekaisaran Kisra, para kaisar mengaku dirinya mempunyai hubungan khusus dengan Tuhannya “Ahuramazda”. Mereka mengatur masalah perintah dan larangan, juga ucapannya berarti undang-undang yang turun dari langit. Tidak dapat diprotes sekalipun bertentangan dengan kemaslahatan rakyat, karena setiap keputusannya adalah keputusan yang diwahyukan Tuhan. Kekaisaran Romawi pra-Kristen menganggap bahwa setiap hukum yang ditetapkan kaisar, merupakan kebenaran dari Tuhan[4].

Sistem pemerintahan romawi pada awalnya adalah berbentuk feodalisme, yaitu kekuasaan hanya dimiliki oleh para bangsawan. Namun dimulai abad ke 4, raja-raja selalu didampiingi oleh para pendeta yang berfungsi sebagai alat legitimasi setiap kebijakan kerajaan

Pengurus gereja dan biara tinggi biasanya kebanyakan dari para bangsawan dan kelas atas, kenyataan ini semakin mengukuhkan dominasi dan hubungan feodalisme eksklusif antara kelas aristokrat dan kaum gereja yang pada dasarnya darah mereka masih berdarah feodal.

Sehingga sebelum abad ke 13 hanya pengurus tinggi gereja saja yang memiliki pendidikan, kultur,serta prestise tertinggi. Adapun pengurus gereja bawahan dan jema’at adalah orang-orang yang tidak memiliki pendidikan tinggi dan akses yang leluasa untuk menuju ke atas[5].

Hubungan romantis antara kerajaan dan gereja ini tidak lepas dari manipulasi politik kelas atas dei melanggengkan kekuasaannya dan dalam menekan setiap kebijakannya. Sehingga dijadikan instrumen untuk membius umatnya agar tetap rela dan ridla menderita di bawah bayang-bayang penguasa feodal atas nama agama.

Gromsel menyebutkan dua perangkat kerja dalam melanggengkan kekuasaan:

1. Dengan tindak kekerasan yang bersifat memaksa, biasa dilakukan melalui jalur hukum, polisi, penjara dll.

2. Bersifat lunak membujuk, biasa dikerjakan melalui kendaraan agama, pendidikan, kesenian dll.

Perangkat kerja pertama akan menghasilkan dominasi (Penindasan yang keji), sedangkan perangkat kerja yang kedua melahirkan hegemoni (Membuat yang tertindas bahagia tetindas), sehingga yang tertindas tidak memperdulikan penindasan yang dilakukan penguasa, karena terbujuk rayu.

Pada tahun 313M Kaisar Konstantin mengeluarkan perintah untuk bebas masuk agama Kristen. Ia juga memberi kesempatan kepada tokoh-tokoh Gereja untuk menjadi bagian dari administrasi pemerintahan. Pada tahun 325 M, Konstantin memelopori Konsili Nicea yang menyatukan atau memilih teologi resmi Gereja. Konsili ini menjadikan Roma sebagai pusat resmi Christian orthodoxy dan menyatakan setiap kepercayaan yang berbeda dengan agama resmi dipandang sebagai heresy (kekafiran). Pada tahun 380M, Kaisar Theodosius menjadikan agama Kristen resmi menjadi agama negara (state-religion) dari Imperium Romawi (Roman Empire)[6].

Awal-awal Abad Pertengahan merupakan periode pembentukan institusi Kepausan. Gereja Romawi (Roman Church) mulai terorganisir dengan baik di zaman Paus Gregorius (590-604) – yang dikenal dengan sebagai “The Great”. Dialah yang membangun awal mula birokrasi kepausan masa Pertengahan dan memperkuat kekuasaan kepausan (papacy’s power). Gregorius menggunakan metode administrasi Romawi untuk mengorganisasikan kekayaan Gereja di Italia, Sisilia, Sardinia, Gaul, dan wilayah lainnya. Ia memperkuat otoritas kepausan atas uskup dan para pastur lainnya, mengirimkan misionaris ke Inggris untuk menaklukan Anglo-Saxons, dan melakukan aliansi dengan Perancis. Paus Gregorius juga melakukan aktivitas ekonomi dengan mengimpor gandum untuk memberi makan prajurit Romawi dan mengirimkan pasukan melawan kelompok heretic Lombards. Karena itu Gregorius I, dari sudut tertentu, dipandang sebagai “penyusun kekuatan politik kepausan”. Akhirnya, pada abad ke-8, aliansi antara Paus dan Raja Pippin dari Perancis, berhasil mendirikan “Kerajaan Kepausan” (Papal States) dan mengatur dukungan Paus untuk memberikan legitimasi terhadap keluarga Pippin. Tahun 754, Pippin berjanji untuk mengembalikan teritori patrimoni dari St. Peter. Sebagai balasan, Paus Stephen III menjanjikan akan memberikan hukuman pengucilan (excommunicated) terhadap raja-raja Perancis yang tidak berasal dari keluarga Pippin. Tahun 800, Paus Leo III, membuat keputusan besar dalam politik kepausan, dengan meletakkan mahkota kerajaan kepada anak Pippin, Charlemagne, yang diangkat sebagai “Emperor of the Romans”. Aksi Leo III ini sekaligus memindahkan gelar itu dari Kekaisaran Romawi Timur (Byzantine) ke Barat[7].

Kekuasaan langit harus melalui perantara gereja, dan gereja menguasai kekuasaan bumi. Keinginan tokoh agama untuk berkuasa di bumi ini Pengesahan Kekaisaran Romawi terhadap Charlemagne kemudian membentuk pola hubungan baru dalam bidang keagamaan di Eropa, dan kemudian juga memicu konflik politik-keagamaan di Abad Pertengahan. Ini berkaitan dengan pemisahaan tanggung jawab dan sumber legitimasi kekuasaan dari dua institusi tersebut : Negara dan Gereja. Contoh yang menarik terjadi pada kasus konflik antara Paus Gregorius VII dengan Raja Henry IV pada paruh abad ke-11. Konflik bermula ketika Gregorius melarang ketelibatan Raja dalam pengangkatan pejabat Gereja. Paus berargumen, bahwa konsep Gereja sebagai monarkhi berasal dari tradisi Imperium Romawi. Paus sendiri yang berhak mengangkat dan memberhentikan para uskup, mengadakan suatu Sidang Umum dan mengeluarkan peraturan moral keagamaan. Jika Paus mengucilkan seorang penguasa, maka penguasa itu berarti telah berdiri di luar tubuh Kekristenan, dan karena itu ia tidak dapat menjadi penguasa di wilayah Kristen (Christendom). Raja Henry IV menolak klaim Paus tersebut, dan menyatakan bahwa kekuasaan raja juga datang langsung dari Tuhan. Menghadapi tantangan itu, Gregorius menyatakan kepaTuhan pasif terhadap Henry IV. Pada akhir pertarungan, Henry IV takluk dan dipaksa menemui Gregorius di Canossa pada 1077. Paus kemudian meringankan hukuman atas Henry tetapi tidak memulihkan kekuasaannya. Kasus ini menunjukkan keefektivan kekuasaan Paus atas pemerintah. Institusi kepausan, meskipun tanpa tentara, mampu melakukan pengucilan tehadap Raja yang sangat besar kekuasaannya di Eropa[8].

Ketika para tokoh agama merasa nyaman menjadi intansi legitimasi setiap kebijakan raja, mereka pun memulai membuat ajaran-ajaran agama yang pada kenyataannya untuk memperkaya diri mereka. Salah satu di antara ajaran buatannya adalah mengenai Sakramen “penghapusan siksa” yang hanya bisa diwakili oleh para tokoh agama, sehingga umat kristen hanya bisa bertobat dengan cara membeli surat penghapusan dosa.

Abul Hasan An Nadawi menjelaskan bahwa para pendeta dengan hegemoninya memasukan penafsiran-penafsiran tauret dan injil dan pengetahuan alam, dimasukan dalam kitab suci mereka. Hal itu dianggap wahyu Tuhan yang masih orisinil yang wajib dipercayai adanya tanpa komentar sedikitpun. Sedang orang yang menentangnya dianggap kafir[9].

Paus dan para uskup kemudian lebih jauh melangkah untuk mendorong masyarakat membentuk milisi-milisi bersenjata. Salah satunya adalah Uskup Toul yang kemudian menjadi Paus Leo IX tahun 1049. Dua bulan setelah penobatannya, Paus Leo IX membentuk milisi Romawi untuk memerangi bangsa Norman yang mengancam menyerbu wilayahnya. Pada tahun 1053, ia sendiri yang memimpin pasukannya dalam peperangan. Dua puluh tahun kemudian, Paus Gregorius VII menyerukan semua rakyat Eropa untuk membentuk milisi bersenjata yang dia namakan sebagai “the Knight of St. Peter”

Paus Innocent III (1198-1216) yang menginginkan kekuasaan lebih besar dari sekedar pemuka agama. Untuk ambisinya ini Paus Innocent III memaksa penguasa Jerman, Inggris dan Perancis agar patuh kepadanya. Namun ambisinya ditolak mentah-mentah oleh para penguasa ketiga negara tersebut. Dan akhirnya paus mengerahkan pasukan, mesiu dan pedang untuk membasmi gerakan yang anti terhadap dogma gereja, serta mengucilkan penguasa-penguasa tersebut[10].

Di zaman hegemoni kekuasaan Gereja inilah lahir sebuah institusi Gereja yang sangat terkenal kejahatan dan kekejamannya, yang dikenal sebagai “INQUISISI”. Ketika melakukan berbagai kekejaman itu, Gereja bertindak sebagai wakil Tuhan, dan mengatasnamakan Tuhan.

Menurut Robert Held dalam bukunya Inquisition mengatakan ada 50 lebih alat penyiksaan, 85% korban penyiksaan adalah wanita. Antara tahun 1450-1800 diperkirakan sekitar dua sampai empat juta wanita dibakar hidup-hidup di daratan katolik maupun protestan Eropa[11].

Sejak abad 17 bermunculan para pemikir sekularisme seperti Rene Descartes (1596-1650), Thomas Hobes (1588-1679), John Locke (1632-1704), John Jack Rousseau (1712-1778), Voltaire (1694-1778), Immanuel Kant. Abad ke 19 menjadi puncak dari aktivitas tersebut seperti dideklarasikan Augus Comte (1798-1857), Karl Marx (1818-1883) Frederich Nietszche (1844-1900)[12].

Dampak Distorsi dari Teokrasi

Bernard Lewis dalam bukunya What Went Wrong?, western impact and middle east response mengatakan: Sejak awal mula, kaum kristen diajarkan –baik dalam persepsi maupun praktis- untuk memisahkan antara Tuhan dan Kasiar. Dan dipahamkan tentang adanya kewajiban yang berbeda antara keduanya[13]. Slogan yang diambil dari bible yang berbunyi “Berikan apa yang jadi hak kaisar untuk kasiar, dan apa yang jadi hak Tuhan untuk Tuhan”, menjadi landasan bahwa agama kristen tidak untuk mengatur urusan negara.

Namun karena para tokoh agama yang sebenarnya berdarahkan feodal, telah lancang mengeksploitasi agama sebagai alat melanggengkan kekuasaan dan memperkaya diri. Bahkan tidak sedikit kebijakan, ilmu pengetahuan maupun penafsiran-penafsiran terhadap bible, mereka jadikan sebagai bagian dari bible itu sendiri.

Adapun dampak distorsi yang disebabkan hegemoni agama ini sebagai berikut:

  1. Ajaran agama mereka kurangi, ditambah ataupun dirubah. Salah satunya mengenai Sakramen yang menuai kritik dari berbagai kalangan, agamawan ataupun para pemikir.
  2. Pemberangusan terhadap daya kritis dan kreativitas masyarakat. Menurut Lokove “Sebelum abad 12M, di Eropa sudah tidak ada ‘ilmu pengetahuan’ di luar gereja, bahkan di dalam yang tersebut terakhir tidak ada kegiatan ilmiah, itupun sebatas pengalaman manuscrip. Seluruh perhatian dicurahkan bukan pada kandungan-kandungan manuscrip tersebut, tetapi pada perbaikan dan mempercantik bentuk fisiknya”. Adelard de Bath, seorang filosof dan penerjemah buku-buku bahsa arab ke latin, berkata “Terus terang saja, aku telah belajar dari para guruku bangsa Arab menggunakan akal sebagai petunjuk, sementara kamu orang yang tunduk dan patuh pada hegemoni biadab (gereja), bagaikanorang yang tertawan dan budak. Adakah sebutan lain yang layak diucapkan terhadap hegemoni gereja tersebut selain ‘pembelengguan dan pengekangan?’”[14].

Pemberangusan ini pun terjadi terhadap Copernicus yang diseret ke mahkamah Inquisisi karena menerbitkan buku yang menyatakan teori heliosentris. Begitupun dengan Galileo Galilei, pada tahun 1663 dia divonis sebagai herelistik (mubtadi’)[15]

  1. Agama menjadi kambing hitam sebagai biang kemunduran peradaban. Karena pada dasarnya agama Kristen tidak mengajarkan campur tangan agama terhadap kehidupan bernegara, maka sebenarnya jika tidak atas ulah para tokoh agama yang haus kekuasaan dan kekayaan, agama ini tidak akan menjadi bahan cacian para sekularis, yang berkeyakinan bahwa agama sebagai penyebab merosotnya kualitas hidup masyarakat. Namun karena hawa nafsu para tokoh agama, maka agama kristen mereka rubah demi melanggengkan kekuasan mereka.

KerunTuhan Teokrasi

Hegemoni gereja terhadap kerajaan ini ternyata malah memperparah kehidupan masyarakat, sehingga dari tahun 476M sampai abad 14 dinamakan dark ages. Di tengah ketertindasan ini maka bermunculanlah orang-orang yang sadar untuk merubah sistem kerajaan dan kehidupan yag tengah mereka alami ini.

Di masa ini bangsa Barat mengalami stagnasi dan taklid buta yang sangat akut, karena pada masa ini gereja memperlihatkan taringnya dengan mengendalikan seluruh kehidupan bernegara dan beragama berada dibawahnya. Padahal, kebijakan-kebijakan gereja pada waktu itu tidak sesuai dengan akal dan fitrah manusia. Karenanya banyak para filosof dan ilmuan yang berakhir dengan kematian yang mengenaskan karena observasinya bertentangan dengan kebijakan gereja yang mereka anggap sebagai “Hukum Tuhan”. Sehingga Galileo Galilei mendapat penyiksaan dan pemerkosaan intelektual dari gereja, karena dia beranggapan bahwa bumi berputar pada porosnya dan observasi ini bertentangan dengan kebijakan gereja yang bersifat absurd (Gair Ma’qul)[16].

Mulai abad ke 11 muncul kesadaran baru di tengah-tengah masyarakat kota, gerakan ini diikuti dengan serentetan protes dan perlawanan sosial dalam menentang dominasi dan eksploitasi kaum gereja. Di Perancis dikomandoi oleh Peter Waldensons, seorang pedagang kaya raya dari Lyons, para pengikutnya disebut “Waldension”. Mereka menyerang sakramen dan Hierarki gereja. Kelompok Albigenes menolak hal yang sama, juga menolak katolik Roma pada umumnya[17].

Di biara Benedict, di Cluniy diadakan protes terhadap praktik-praktik menyimpang para pendeta , moralitas serta urgensi kaum pendeta di Biara. Kemudian pada tahun 1073M meletus peristiwa “Pembaharuan Hildebrandine”, yang mengusung pemberontakan melawan kemapanan dan sikap eksploitasi eksklusif kaum gereja[18].

Penentangan terhadap hegemoni gereja ini tidak hanya dilakukan oleh non-agamawan, tapi juga dipelopori oleh para tokoh agamawan. Diantaranya Martin Luther (1483-1546) yang menulis 95 dalil untuk melawan “Sakramen” yang dijual gereja pada tanggal 31 Oktober 1517[19].

Pada abad 15-16, proses penentangan terhadap gereja ini mulai mengkristal menjadi pengusungan ide sekularisasi (. Dan dimulai babak renaissance dan Eropa Enlighment. Kekuasaan dominasi gereja beserta dogmanya berhasil diruntuhkan, dipinggirkan dalam ranah privat. Pada abad ke 17 sekularisasi mulai menemukan bentuknya.

Bagi kalangan yang gemar memperjuangkan sekularisme, beralasan bahwa agama dituduh menjadi penyebab merosotnya kualitas hidup masyarakat. Karena ketika agama dikawinkan dengan negara justru memunculkan “kenakalan konstitusional” yang menjadikan rakyat sebagai tumbal keserakahan penguasa dengan agama sebagai legitimasinya[20].

Negara Islam: Teokrasi atau Sekularisme?

Setelah kita mengenal bentuk pemerintahan teokrasi, yang pada intinya merupakan pemerintahan yang dibentuk oleh kebijakan-kebijakan tokoh agama yang mengaku untouchble dan setiap kebijakannya datang dari Tuhan. Lalu apakah negara Islam yang dicita-citakan kaum muslimin dan pernah terwujud selama 12 abad lamanaya, merupakan penjiplakan terhadap teokrasi yang diusung gereja?.

Dalam ajaran Islam tidak mengenal terma pengelompokan umat, karena seluruh umat dalam pandangan Alloh Azza wa Jalla adalah sama. Sama-sama makhluq-Nya, dan sama-sama memiliki dua kemungkinan, yaitu kemungkinan berbuat benar dan salah. Sehingga siapapun orangnya, tidak akan serta merta diterima setiap kebijakannya, ketika hal tersebut bertentangan ataupun tidak terdapat dalam Al Qur’an dan As Sunnah. Setiap orang berhak untuk mengkoreksi dan memprotes setiap pendapat jika hal itu tidak sesuai dengan kedua Kitab tersebut, maupun bertentangan dengan kemaslahatan ummat.

Terkecuali kelompok Syi’ah, mereka mengakui kema’shuman imamnya, dan imam tersebut merupakan pemimpin spiritual dan pemimpin negara bagi mereka. Mereka beralasan[21]:

  1. Bahwa individu tidak ma’shum dari kesalahan, sedangkan ummat merupakan kumpulan individu, dan kumpulan tersebut tidak ma’shum. Maka membutuhkan adanya individu yang spesial dan ma’shum –imam- agar menjadi pencegah dari terjadinya deviasi dan kesesatan ummat.
  2. Banyaknya manuscript dan tafsiran-tafsiran yang menegaskan pendapat mereka seperti : Imamah dan Sistem politik dalam masyarakat, kedua-duanya merupakan agama dan rukun dari rukun-rukun agama.

Terlepas dari pendapat kelompok Syi’ah, negara Islam ini pada dasarnya dipimpin oleh orang yang tidak luput dari salah dan dosa, tidak kebal dari kritik maupun koreksi. Dan kesalahan yang dilakukan para pemimpin dalam negara Islam, adalah tindakan yang dilakukan bertentangan dengan syari’at dan kemaslahatan ummat. Yusuf Qardhawi menegaskan bahwa Imam, Khalifah, atau Presiden adalah manusia juga, bisa benar ataupun salah, baik ataupun buruk. Maka bagi umat Islam untuk mengikutinya jika dia benar ataupun baik, dan membenarkannya jika dia salah ataupun buruk[22].

Negara Islam berarti negara yang diatur dan diselenggarakan menurut hukum agama[23]. Adapun hukum tersebut ditegakkan oleh muslimin sebagai khalifah di muka bumi ini, dan pemerintah sebagai pemimpin yang dipilih masyarakat lebih bertanggung jawab dalam menjalankannya. Masyarakat sebagai sandaran kekuasaan, menjadi pengoreksi jika para pemimpinnya berbuat tidak sesuai dengan syari’at, dan sekaligus sebagai yang dilayani oleh para pemimpinnya.

Maka tidak ada individu -menurut Abu Al A'la Al Maududi-, dinasti ataupun kelas yang bisa disebut Khalifah (Pemimpin), kecuali dengan persyaratan bahwa wewenang khilafah (pemerintahan perwakilan) dipegang oleh seluruh rakyat, yang bersedia memenuhi persyaratan "Perwakilan" (Khilafah), setelah mereka menerima prinsip-prinsip Tauhid dan Risalah. Serta mereka telah memenuhi persyaratan-persyaratan khilafah yang ditentukan oleh kedaulatan Tuhan"[24].

Negara Islam tidak memberangus daya kritis dan kreativitas masyarakat, selama itu tidak bertentangan dengan syari’at. Sehingga Nabi Muhammad Saw. seorang pemimpin negara mulim pertama, tidak menutup diri ketika pendapatnya dalam urusan dunia dikoreksi oleh para sahabat. Seperti pengkoreksian sahabat kepada Nabi dalam peristiwa perang Badar, Khandaq, pencangkokan kurma. Adapun jika perkataan ataupun perbutan Rasul yang berkenaan dengan wahyu, mereka langsung menta’ati tanpa berpikir panjang. Sehingga jika ada pendapat Rasul yang dikira para sahabat keliru, mereka bertanya dahulu “Apakah hal ini wahyu dari Alloh, ataukah hanya sebatas pendapat engkau saja?”, dan Rasulullah akan menjawabnya dengan jujur jika itu pendapat beliau sendiri, ataupun wahyu dari Allah Swt. Namun tidak ada satupun wahyu yang ketika diucapkan Rasul, diragukan dan akhirnya dikoreksi oleh para sahabat.

Bahkan Nabi sendiri bersabda bahwa “Sesungguhnya aku manusia juga, jika aku memerintahkan perkara dari agama kalian, maka ambilah. Dan jika aku memerintahkan perkara dari pendapatku, maka aku pun manusia” dan tambah beliau “kalian lebih mengetahui urusan dunia kalian” (HR. Muslim). Tauladan ini diikuti oleh para Khulafaaur Rasyidin seperti Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib yang meminta dikoreksi oleh masyarakat ketika mereka menyimpang dari syari’at.

Lebih tegas, Muhammad Abduh, membedakan Negara Islam dengan teokrasi, sebagai berikut[25]:

  1. Negara Islam bukan negara agama yang sebagaimana diselenggarakan oleh “Kekaisaran Paus” dan “Kepausan Kaisar”.
  2. Para ulama Islam bukanlah tokoh agama –Acklerus- yang menjadi perantara antara manusia dengan Tuhan. Atau yang memiliki kekuasaan dalam menghukumi sebuah keyakinan, menghalalkan ataupun mengharamkan sesuatu.
  3. Syari’at Islam –yang tidak mengusung slogan “biarkan urusan kaisar kepada kaisar”- berdiri tegap dengan sandaran manhaj, maqashid, dan batasan-batasan yang telah mapan. Kemudian mengakui bahwa ummat merupakan sandaran kekuasaan yang menegakan syariat dan undang-undang agar mentransformasikan tujuan-tujuan syari’at kepada sistem yang bisa memenuhi kemaslahatan yang senantiasa berubah dan berevolusi dengan perubahan masa dan tempat.
  4. Orang-orang yang berpendapat –dari kita-, dan bertaklid terhadap kependetaan Katolik, hal ini tidak dapat dikaitkan dengan pokok ajaran Islam.

Di antara yang termasuk di poin ke 4 yang disebutkan Muhammad Abduh ini, ternyata tidak dapat dipungkiri, dalam sejarah pemerintahan Islam juga terdapat oknum pemimpin yang secara sengaja ataupun tidak, bertaklid kepada sistem teokrasi. Di antara para oknum tersebut, adalah[26]:

1. Mu’awiyah Ibnu Abi Sufyan (20SH-60H/603M-680M) berkata “Bumi ini milik Allah. Dan aku adalah khalifah Allah. Maka tiap apa yang aku ambil, itu menjadi milikku. Dan apa yang aku tinggalkan bagi manusia, maka itu kuberikan dengan keutamaanku”

2. Abu Ja’far Al Mansur (95H-158H/714M-775M) berpidato “Wahai manusia, kami saat ini telah menjadi pemimpin kalian. Kami akan menjalankan hukum Allah ......aku adalah kekuasaan Allah di bumi-Nya, dan penjaga bagi harta-Nya. Dia menjadikanku sebagai “kunci penutup”, jika Allah berkehendak membukakannya untukku, maka aku akan memberikannya kepada kalian, dan Dia juga berkehendak untuk menutupkannya bagiku.”

3. Wali dari dinasti Umayyah bernama Khalid ibn Abdullah Al Qusari (66H-126H/686M-743M), waktu itu dia melaksanakan perintah khalifah Hisyam ibn Abdul Muluk agar menyembelih seorang pemikir Islam yang menjadi pihak oposisi di pemerintahan umayyah, bernama Al Ja’ad Ibn Dirham (118H/736M) yang dituduh berkeyakinan bahwa Al Qur’an adalah makhluq. Beliau disembelih di pinggir mimbar, setelah pelaksanaan shalat Idul Adha, dan di akhir khutbah, Al Qusari berkata “wahai manusia, menepilah. Semoga Alloh menerima amalan kalian. Aku sekarang ingin berkurban hari ini dengan menyembelih Al JA’ad ibn Dirham”

Maka sistem negara Islam berarti bahwa[27]:

1. Hakim tertinggi di lingkungan masyarakat, merupakan wakil dari ummat dalam menjalankan kekuasaan. Dia mendapatkan pengawasan dan diturunkan ketika lalai dalam menjalankan syarat-syarat perwakilan.

2. Negara sebagai penyelenggara undang-undang, yang telah ditetapkan melalui hasil ijtihad ummat dengan cara musyawarah dan tukar pendapat.

3. Agama merupakan Main Gate bagi negara.

Epilog

Adanya agama dan negara di dunia ini merupakan kehendak Allah Azza wa Jalla, yang bertujuan agar dapat menjadi fasilitas manusia dalam memenuhi kebutuhan duniawi dan bekal untuk ukhrawi. Namun manusia kadang memanipulasi negara dan agama, dengan tujuan agar mendapatkan kesenangan sesaat. Dan Teokrasi di antara usaha manusia untuk melanggengkan dan memperluas kekuasaannya, dengan menganggap dirinya kebal dari salah karena setiap kebijakannya dianggap datang dari Tuhan. Sehingga dengan seenaknya menipu atas nama Tuhan.

Islam tidak mengenal kema’shuman manusia, ataupun kelas manusia yang menganggap hanya mereka yang bisa menjadi perantara manusia dengan Tuhan. Namun Islam hanya mengenal hukum yang telah ditetapkan Allah, untuk dijalankan manusia. Dan manusia juga berhak untuk mengawasi jalannya hukum Allah di dunia ini, sehingga siapapun strata sosial atau spiritual manusia, dia tidak kebal dari kritik dan koreksi ketika berbuat menyimpang dari syari’at yang telah di tetapkan Allah, dan jika mengganggu kemaslahatan ummat. Maka Islam adalah solusi peradaban dunia, bukannya teokrasi ataupun sekularisasi.

In Urîdu Illal Ishlâha Mastatha’tu


[1] http://id.wikipedia.org/wiki/Teokrasi

[2] د. محمد عمارة (الدولة الإسلامية بين العلمانية و السلطة الدينية) ص 18، ط 2، 2007م، دار الشروق

[3] د. يوسف القرضاوى (من فقه الدولة في الإسلام)، ص30، ط 5، 2007م، دار الشروق

[4] د. محمد عمارة (الدولة الإسلامية بين العلمانية و السلطة الدينية) ص 30

[5] Majalah Justicia, edisi 29, th. XIV,2006, Yogyakarta. Tema: Sekularisme: antara mimpi indah dan realita oleh: Chairul Anam, hal. 76

[6] Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat : Dari Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekuler-Liberal, Jakarta 2005, GIP, hal : 192

[7] Ibid, hal 31

[8] Ibid, hal.33

[9] Majalah Justicia, edisi 29, th. XIV,2006, Yogyakarta. Tema: Sekularisasi, Renaissance dan kerunTuhan otoritas gereja oleh: M. Najibur Rohman, hal.11

[10] Ibid, hal.10

[11] Adian Husaini, Op Cit, hal.18

[12] M. Najibur Rohman, Op Cit, hal.15

[13] Adian Husaini, Op Cit, hal.28

[14] M. Najibur Rohman, Op Cit, hal.13-14

[15] Chairul Anam, Op Cit, hal.77

[16] Irfan Kasyaf N, Keberagaman Pemikiran Islam dan Pemikiran Barat, makalah hal.7

[17] M. Najibur Rohman, Op Cit, hal.11

[18] Chairul Anam, Op Cit, hal.77

[19] M. Najibur Rohman, Op Cit, hal.12

[20] Majalah Justicia, edisi 29, th. XIV,2006, Yogyakarta. Tema: Membagi Ruang Agama dan Negara oleh: Zaki Mubarak, hal.3

[21] د. محمد عمارة (الدولة الإسلامية بين العلمانية و السلطة الدينية) ص 28

[22] د. محمد عمارة (الدولة الإسلامية بين العلمانية و السلطة الدينية) ص 34

[23] Al-Chaidar, Wacana Ideologi Negara Islam, Syawal, 1419H, Darul Falah

[24] Abu Al A'la Al Maududi, Hak Asasi Manusia dalam Islam, Pustaka, Bandung 1995, hal.5

[25] د. محمد عمارة (الدولة الإسلامية بين العلمانية و السلطة الدينية) ص 35

[26] د. محمد عمارة (الدولة الإسلامية بين العلمانية و السلطة الدينية) ص 22-24

[27] د. محمد عمارة (الدولة الإسلامية بين العلمانية و السلطة الدينية) ص 200

No comments: